Home » » Krisis Air Bersih dan Ancaman Generasi yang Hilang

Krisis Air Bersih dan Ancaman Generasi yang Hilang

Air bersih, menurut Wikipedia, merupakan salah satu jenis sumberdaya berbasis air yang bermutu baik dan biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari, termasuk sanitasi. Dalam versi Departemen Kesehatan (Depkes), air minum harus memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak mengandung logam berat. Lebih lanjut ditegaskan, walaupun air dari sumber alam dapat diminum oleh manusia, terdapat risiko bahwa air ini telah tercemar oleh bakteri atau zat-zat berbahaya. Bahkan, meski bakteri tersebut dapat dibunuh melalui pemasakan air hingga 100 °C, banyak zat berbahaya, terutama logam, tidak dapat dihilangkan dengan cara ini.
Krisis AirKrisis AirKrisis AirKrisis AirHarus diakui, mutu air bersih yang sesuai dengan syarat-syarat Depkes, agaknya (nyaris) makin sulit ditemukan. Bisa jadi, hanya kawasan pegunungan yang nihil dari hiruk-pikuk dunia industri yang masih menyisakan sumber air bersih yang layak dikonsumsi. Selebihnya, kita hanya akan mendapatkan air di lingkungan sekitar yang sudah terkontaminasi berbagai limbah dan pencemaran lingkungan. Saat ini, Indonesia sudah dikepung krisis air bersih dari berbagai lapis dan lini. Daerah pedesaan yang notabene dinilai masih “aman”, konon juga mulai tergerus akibat eksploitasi dan pembalakan hutan sewenang-wenang. Air bersih makin sulit didapat. Ketika kemarau panjang tiba, pemandangan yang terhampar di pedesaan tak ubahnya kawasan kering dan tandus yang (nyaris) tidak menjanjikan harapan hidup. Sebaliknya, jika musim penghujan tiba, banjir bandang acapkali menjadi ancaman serius bagi penduduk. Mungkin ada benarnya kalau orang Jawa bilang, “Yen ketiga ora bisa cewok, yen rendheng ora bisa ndhodhok” (kalau kemarau tidak bisa cebok, kalau musim penghujan tidak bisa jongkok).
Daerah perkotaan konon lebih parah lagi. Dinamika kawasan perkotaan yang tak pernah sepi dari gerusan kaum kapitalis dengan bendera industrinya, ditengarai telah membuat krisis air bersih makin parah. Cerobong asap pabrik yang tak henti-hentinya menggelontorkan polusi dan limbah pabrik yang terus-menerus meluapkan endapan beracun ke kawasan permukiman, membuat air bersih di kota makin menjadi barang langka. Air sungai telah berubah seperti oli bekas yang mengalir tersendat-sendat. Secara sosial, laju perkembangan industri yang tidak berwawasan lingkungan telah menimbulkan dampak yang amat mencemaskan bagi penduduk sekitar.
Jika situasi seperti itu terus berlangsung, kekhawatiran dan ancaman tentang munculnya fenomena generasi yang hilang benar-benar akan terjadi. Krisis air agaknya telah menjadi ancaman global, khususnya di negara-negara berkembang. Di Afrika, misalnya, sebagaimana diberitakan di www.charitywater.org konon kaum perempuan harus berjalan lebih dari 40 miliar jam setiap tahun sambil menenteng bejana seberat 18 kg untuk memburu air guna mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hampir 1 miliar orang tidak memiliki akses terhadap air bersih sehingga rentan terhadap penyakit, bahkan kematian. Setiap minggu, hampir 38.000 anak Balita meninggal karena mengonsumsi air minum yang tidak aman dan kondisi hidup yang tidak higienis.
Yang lebih mencemaskan, berdasarkan laporan PBB, konon kelangkaan air akan menjadi salah satu penyebab utama konflik di Afrika. Oleh karena itu, untukmengatasi krisis air sekaligus mencegah terjadinya konflik sosial, pada bulan Juli yang lalu PBB menyatakan bahwa akses terhadap air bersih dan sanitasi merupakan hak asasi setiap manusia di muka bumi.
Yang tak kalah ironis, ketika negara-negara berkembang tengah menghadapi ancaman penyakit dan kematian akibat krisis air, negara-negara maju justru boros dalam memanfaatkan air. Di Eropa, konon untuk memproduksi sekerat hamburger mesti butuh 24 liter air. Produk iPhone diduga juga ikut andil dalam pemborosan air. Kalau satu iPhone butuh setengah liter air untuk mengisi daya, itu artinya akan ada sekitar 40 juta liter air untuk mengisi daya 80 juta buah iPhone. Bahkan, untuk memproduksi T-shirt katun dan celana jeans konon masing-masing butuh 1.514 liter air dan 6.813 liter air tambahan.
Dalam konteks Indonesia, krisis air mungkin belum separah di Afrika. Meski demikian, jika praktik illegal logging, industri yang tidak berwawasan lingkungan, pembalakan hutan secara liar dan sewenang-wenang, atau kebiasaan buruk membuang sampah di sungai terus terjadi, bukan tidak mungkin dalam beberapa kurun waktu mendatang, ancaman fenomena generasi yang hilang benar-benar akan terjadi. Kehilangan akses terhadap air bersih benar-benar menjadi ancaman sosial yang perlu diwaspadai. Anak-anak Balita akan sangat rentan terhadap diare yang diduga menjadi penyebab kematian terbesar kedua, penyakit cacingan yang jelas-jelas akan menghambat kecerdasan anak-anak, bahkan krisis air juga bisa menjadi biang pemiskinan akibat makin banyaknya uang yang tersedot untuk persediaan air.
Oleh karena itu, sebelum kecemasan dan ancaman itu benar-benar terjadi, perlu ada upaya serius dari segenap elemen bangsa untuk melakukan deteksi dini terhadap krisis air. Perlu ada kesadaran kolektif dengan memulainya dari lingkungan terkecil dengan mengedepankan sikap “memayu hayuning bawana“; melestarikan bumi dan seisinya sebagai pengejawantahan sikap “penghambaan” manusia yang ditakdirkan sebagai khalifah di muka bumi. Kesadaran kolektif seperti itu perlu diimbangi dengan sikap tegas terhadap para “bromocorah” lingkungan hidup yang nyata-nyata telah menyengsarakan banyak orang. Jangan sampai menunggu kerusakan lingkungan telanjur parah hingga membuat krisis air di negeri ini benar-benar berada di titik nazir peradaban. ***


Sumber: Krisis Air Bersih dan Ancaman Generasi yang Hilang » Catatan Sawali Tuhusetya http://sawali.info/2010/10/15/krisis-air-bersih-dan-ancaman-generasi-yang-hilang/#ixzz18uW9NbgL
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial Share Alike

0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive